Kamis, 22 September 2016

PAPER - AUTOMATIC EXCHANGE OF INFORMATION FOR TAX PURPOSE

AUTOMATIC EXCHANGE OF INFORMATION FOR TAX PURPOSE
Augy Ladyana Firstyanto
Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya

ABSTRAK
The Automatic Exchange of Information (AEoI) adalah inisiatif terpisah untuk FACTA (Foreign Account Tax Compliance Act), diprakarsai oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) atau organisasi untuk kerjasama ekonomi dan pengembangan. OECD menetapkan aturan umum untuk melaporkan pendapatan dan aset klien kepada lembaga pajak daerah yang berwenang, untuk mencegah penggelapan pajak. Untuk mengimplementasikan AEoI, sangat diperlukan lembaga keuangan untuk melaksanakan proses due diligence diantaranya yaitu : (1) mengidentifikasi pemegang rekening baru dan yang sudah ada serta entitas pengendali asing, (2) memberikan otoritas pajak terkait dengan informasi tentang aset, pembayaran pendapatan klien dan arus perdagangan selama tahun fiskal. OECD telah mengusulkan kerangka kerja berdasarkan FATCA Model 1 Inter Governmental Agreements (Model 1 IGA). Dokumen tersebut berjudul "Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters ", termasuk didalamnya yaitu : (1) Model CAA (Competent Authority Agreement) yang mendefinisikan prinsip dari perjanjian antar pemerintah AEOI, (2) The Common Reporting & due diligence Standard (CRS) yang mendefinisikan kewajiban pelaporan atas due diligence. Implementasi keterbukaan dan pertukaran informasi perbankan untuk pajak dalam Automatic Exchange of Information (AEoI) pada akhir 2017 tetap akan bisa berjalan dengan mekanisme lain terkait akses data pada otoritas pajak meski UU Perbankan menganut sistem kerahasian data nasabah perbankan. Dalam pertemuan G20 di Turki November 2015, Indonesia dengan beberapa negara lain menyatakan masuk dalam early adopters(pengadopsi awal), yang mulai mengimplementasikan AEoI pada September 2017.
           
Kata kunci : Automatic Exchange of Information, FATCA, OECD

1.      PENDAHULUAN
Kerjasama administratif  antar  negara di bidang perpajakan memiliki sejarah yang telah
mengakar sejak lama. Ketentuan kerjasama antar negara di bidang perpajakan masuk dalam berbagai draf Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang digunakan oleh banyak negara sebagai acuan atas ketentuan dalam P3B (bilateral) diantara negara-negara tersebut. Ketentuan pertukaran informasi dalam P3B merupakan payung hukum untuk melaksanakan kerjasama antar negara di bidang perpajakan dalam rangka meningkatkan international tax compliance dan mencegah praktik pengelakan pajak (tax evasion). Rumusan ketentuan pertukaran informasi dalam Model P3B yang dirancang Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memiliki banyak pengaruh terhadap P3B yang diterapkan oleh beberapa negara, termasuk P3B yang telah berlaku efektif di Indonesia. Dalam perkembangannya, kerjasama antar negara di bidang perpajakan diwujudkan dalam bentuk bantuan administratif pertukaran informasi bersama di bidang perpajakan yang dilandasi oleh kepentingan bersama untuk mencegah praktik offshore tax evasion yang dilakukan oleh wajib pajak yang menyembunyikan penghasilan atau aset keuangannya di luar negeri. Kerjasama otoritas pajak antar negara diperluas menjadi jaringan kerjasama bantuan administratif transnasional atau multilateral dengan tujuan meningkatkan international tax compliance. Hal ini diwujudkan dengan kesepakatan bersama untuk membuka dan memberikan akses ke informasi keuangan di dalam negeri kepada otoritas pajak negara lain dan memperoleh akses ke informasi keuangan di luar negeri secara otomatis.
            Standar Global AEoI (Automatic Exchange of Information) merupakan standar untuk pertukaran otomatis informasi finansial dalam masalah pajak. OECD dan G20 mengembangkan standar ini dengan masukan dari yurisdiksi lain dan  konsultasi dengan lembaga keuangan. Standar ini sangat mirip dengan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) atau Undang-Undang Kepatuhan Wajib Pajak Luar Negeri Akun Amerika Serikat. AEOI akan memungkinkan penemuan penggelapan pajak sebelumnya tidak terdeteksi. Ini akan memungkinkan pemerintah untuk memulihkan penerimaan pajak yang hilang untuk wajib pajak non-compliant, dan selanjutnya akan memperkuat upaya internasional untuk meningkatkan transparansi, kerjasama, dan akuntabilitas di antara lembaga keuangan dan administrasi pajak.
Pada Februari 2014, negara-negara anggota G20 dan OECD menyetujui Common Reporting Standard (CRS) yang dirilis oleh OECD sebagai instrumen pertukaran informasi keuangan secara otomatis. Langkah ini dilanjutkan dengan komitmen berupa penyusunan timelines untuk mengimplementasikan standar pertukaran informasi secara otomatis di negaranya masing-masing. Sampai saat ini terdapat 56 (lima puluh enam) negara/yurisdiksi berkomitmen untuk melaksanakan pertukaran informasi pada tahun 2017, dan 38 (tiga puluh delapan) negara/yurisdiksi lainnya, termasuk Indonesia, pada tahun 2018. Ke depannya, akan banyak lagi negara/yurisdiksi yang akan menjadi bagian dari komitmen global untuk melakukan pertukaran informasi secara otomatis atas data keuangan nasabah untuk kepentingan perpajakan.
Selanjutnya, pada bulan Juli 2014 OECD merilis versi lengkap (full version) standar pertukaran informasi secara otomatis (Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters) yang memuat standar Model Competent Authority Agreement (MCAA) dan CRS. Kemudian, pada pertemuan di bulan November 2014 di Brisbane, para pemimpin negara anggota G20 menyatakan dukungannya untuk menggunakan CRS dalam pertukaran informasi secara otomatis dalam rangka mencegah praktik offshore tax evasion. Sebagai salah satu negara anggota G20, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk menerapkan CRS sebagai instrumen dalam pertukaran informasi dengan tujuan meningkatkan international tax compliance.
Untuk mendukung implementasi CRS sebagai standar global dalam pertukaran informasi keuangan secara otomatis, maka Pemerintah Indonesia perlu mewujudkan standar global ini ke dalam peraturan domestik. Hal ini dibutuhkan mengingat komitmen Indonesia untuk melaksanakan standar pertukaran informasi secara otomatis pada tahun 2018 (yang akhirnya dimajukan di tahun 2017) mensyaratkan perlunya kesiapan peraturan domestik yang memadai. Untuk mengimplementasikan FATCA-IGA dan CRS, maka Indonesia perlu mempersiapkan perangkat hukum domestik yang mengatur tata cara pemberian informasi keuangan, pelaksanaan due diligence, dan mekanisme pelaporan yang sesuai serta aturan tentang pengolahan dan jaminan kerahasiaan data yang diperoleh dari dalam dan luar negeri.
Implementasi perjanjian pertukaran informasi secara otomatis dalam ketentuan domestic mensyaratkan ketentuan domestik yang diperlukan haruslah efektif sehingga tidak menghalangi penerapan standar yang ditetapkan dalam perjanjian pertukaran informasi secara otomatis. Salah satu isu yang mendesak untuk mengimplementasikan perjanjian ini adalah kordinasi dengan lembaga jasa keuangan yang wajib memberikan informasi keuangan nasabah sesuai ketentuan perjanjian pertukaran informasi secara otomatis. Hal ini untuk memastikan implementasi yang harmonis, konsisten, berkepastian, dan efektif sesuai dengan perjanjian pertukaran informasi secara otomatis yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia.
Tulisan ini membahas tentang Automatic Exchange of Information (AEoI) atau  pertukaran informasi secara otomatis melalui kerangka kerja FATCA IGA Model 1B dan MCAA-CRS dari perspektif pajak internasional dan domestik. Sumber hukum yang digunakan untuk meninjau pertukaran informasi secara otomatis adalah hukum perjanjian internasional, materi ketentuan dalam perjanjian internasional itu sendiri, dan ketentuan domestik untuk mengimplementasikan materi perjanjian internasional.

2.      PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Automatic Exchange of Information (AEoI)
The Automatic Exchange of Information (AEoI) merupakan standar untuk pertukaran otomatis informasi finansial dalam masalah pajak. Dalam standar AEoI terjadi kesepakatan bersama untuk membuka dan memberikan akses ke informasi keuangan di dalam negeri kepada otoritas pajak negara lain dan memperoleh akses ke informasi keuangan di luar negeri secara otomatis. AEoI diprakarsai oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) atau organisasi untuk kerjasama ekonomi dan pengembangan, dengan masukan dari yuridiksi lain dan konsultasi dengan lembaga keuangan.
Berikut ini beberapa poin ketentuan yang tercantum dalam AEoI :
·         Standar AEoI mengharuskan lembaga keuangan untuk melaporkan informasi tentang rekening yang dimiliki oleh individu non-penduduk dan badan (termasuk trust dan yayasan) untuk administrasi pajak mereka.
·         Administrasi pajak akan aman mengirimkan informasi ke negara-negara pemegang rekening secara tahunan.
·         Standard AEoI tidak hanya mewajibkan bank untuk melaporkan, tetapi juga lembaga kustodian, entitas investasi tertentu, dan perusahaan asuransi. Jenis informasi akun yang akan dilaporkan meliputi saldo rekening, bunga, dividen, dan penjualan dan penebusan hasil aset keuangan dsb.

Seperti halnya untuk FATCA, untuk  AEoI  lembaga keuangan (FI) juga diwajibkan untuk melaksanakan due diligence baru dan kontrol untuk klien baru, serta ulasan terhadap akun klien dan melaporkannya kepada otoritas pajak yang kompeten. Lembaga keuangan berpotensi menghadapi berbagai jenis dampak : (1) Dampak Internal, yaitu ketika mereka harus mematuhi yurisdiksi mereka, (2) Dampak Eksternal yaitu sebagai penyedia informasi (kustodian, dll) mungkin akan dimintai dokumentasi baru untuk mematuhi kewajiban AEOI. Seperti halnya untuk FATCA, untuk  AEoI lembaga keuangan juga diwajibkan untuk melaksanakan due diligence baru dan kontrol untuk klien baru, serta ulasan terhadap akun klien dan melaporkannya kepada otoritas pajak yang kompeten.

2.2. Tujuan Automatic Exchange of Information (AEoI)
 Tujuan dari adanya AEoI diantaranya yaitu :
·         untuk mencegah praktik penggelapan pajak maupun penghindaran pajak yang dilakukan wajib pajak, yang menyembunyikan penghasilan atau aset keuangannya di luar negeri.
·         meningkatkan international tax compliance.
·         untuk memulihkan penerimaan pajak yang hilang untuk wajib pajak non-compliant.
·         memperkuat upaya internasional untuk meningkatkan transparansi, kerjasama, dan akuntabilitas di antara lembaga keuangan dan administrasi pajak.

2.3.   Dasar Hukum Perjanjian Internasional terkait Automatic Exchange of Information (AEoI)
Terkait dengan landasan hukum untuk memastikan bahwa FATCA dan CRS dapat diimplementasikan secara efektif, saat ini, Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menerbitkan peraturan tata cara pertukaran informasi di bidang perpajakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-125/PMK/010/2015 (PMK-125/2015) yang didasarkan pada Pasal 32A UU PPh terkait kewenangan pemerintah membentuk perjanjian internasional di bidang perpajakan. Sementara itu, otoritas terkait yaitu Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator jasa keuangan juga akan menerbitkan peraturan terkait pemberian informasi nasabah asing terkait perpajakan dengan negara mitra.
Ketentuan domestik di bidang perpajakan untuk mengadakan perjanjian dengan pemerintah negara lain adalah Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Kewenangan pemerintah untuk membuat perjanjian internasional di bidang perpajakan dilaksanakan dalam rangka menghindari pemajakan berganda dan mencegah pengelakan pajak.
Sesuai Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional), pengesahan P3B antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara mitra perjanjian dilakukan melalui Keputusan Presiden. Adapun di banyak P3B yang telah ditandatangani dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia memuat klausul pertukaran informasi. Dengan demikian, sepanjang P3B telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, maka pelaksanaan teknis pertukaran informasi akan mengacu pada klausul dalam P3B.
Dalam konteks pertukaran informasi antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat, Pasal 26 ayat (4) P3B Indonesia-Amerika Serikat berbunyi sebagai berikut:
The exchange of information shall be either on a routine basis or on request with reference to particular case. The competent authorities of the contracting state may agree on the list of information which shall be furnished on a routine basis”.
Ketentuan ini menjadi dasar hukum untuk membuat perjanjian pertukaran informasi secara otomatis (routine basis) terkait FATCA dengan Pemerintah AS yaitu Inter-Governmental Agreement (IGA) Model 1B. Tujuan dari ketentuan FATCA-IGA sebagaimana dinyatakan dalam Judul Perjanjian IGA adalah untuk meningkatkan international tax compliance dan untuk mengimplementasikan FATCA. Implementasi FATCA dilakukan melalui pelaporan informasi keuangan oleh pihak ketiga (lembaga keuangan) secara otomatis.
Konvensi bantuan administratif bersama di bidang perpajakan merupakan bentuk jaringan kerjasama transnasional yang menjadi dasar hukum bagi bantuan administratif bersama seperti pertukaran informasi, kerjasama pemeriksaan, dan bantuan penagihan pajak. Konvensi ini telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2011 dilakukan melalui ratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 159 Tahun 2014 tentang Pengesahan Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan) (PerPres No.159/2014). Pasal 6 Konvensi yang mengatur tentang pertukaran informasi secara otomatis berbunyi sebagai berikut:
With respect to categories of cases and in accordance with procedures which they shall determine by mutual agreement, two or more Parties shall automatically exchange the information referred to in Article 4
Pasal 6 Konvensi menjadi dasar bagi Pemerintah untuk membentuk persetujuan bersama (mutual agreement) dalam menjalankan pertukaran informasi secara otomatis di bidang perpajakan dengan negara yang juga menandatangani Konvensi ini. Kesepakatan bersama dalam Pasal 6 Konvensi ini diwujudkan dengan Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia pada bulan Juni 2015. Persetujuan pertukaran informasi merupakan instrumen hukum untuk menyepakati penggunaan Common Reporting Standard (CRS) sebagai standar pertukaran informasi secara otomatis.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur persyaratan pemberlakuan perjanjian pertukaran informasi di bidang perpajakan antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, dapat disimpulkan bahwa FATCA-IGA Model 1B bisa dieksekusi tanpa perlu melalui proses ratifikasi. Persyaratan yang dibutuhkan untuk memberlakukan dan melaksanakan FATCA-IGA Model 1B adalah sepanjang ketentuan prosedur internal atau ketentuan domestik Indonesia untuk mengimplementasikan pertukaran informasi secara otomatis berdasarkan FATCA-IGA Model 1B telah lengkap. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 9 dan 15 UU Perjanjian Internasional serta Pasal 10 FATCA-IGA Model 1B, pemberlakuan FATCA-IGA Model 1B ke dalam peraturan perundang-undangan domestik di Indonesia tidak memerlukan proses ratifikasi (self-executing treaty), tetapi cukup melalui pemberitahuan (notification) tentang kelengkapan ketentuan prosedur internal yang diperlukan untuk mengimplementasikan FATCA.
Sedangkan, terkait pemberlakuan Model Competent Authority Agreement (MCAA) sebagai instrument persetujuan bersama (mutual agreement) pertukaran informasi secara otomatis sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi diatur dalam Pasal 7ayat (1) dan (2) MCAA sebagai berikut:
Ayat (1):
A Competent Authority must provides, at the time of signature of this Agreement or as soon as possible after its Jurisdiction has the necessary laws in place to implement the Common Reporting Standard, a notification to the Co-ordinating Body Secretariat…”
Ayat (2):
“This Agreement will come into effect between two Competent Authorities on the later following dates: (i) the date on which the second of the two Competent Authorities has provided notification to the Co-ordinating Body Secretariat..”
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 dan 15 UU Perjanjian Internasional serta Pasal 7 MCAA, pemberlakuan standar pertukaran informasi secara otomatis berdasarkan MCAA ke dalam peraturan perundang-undangan domestik dapat disimpulkan tidak perlu melalui proses ratifikasi (self-executing treaty), tetapi cukup melalui pemberitahuan (notification) tentang kelengkapan ketentuan internal yang diperlukan untuk mengimplementasikan persetujuan bersama kepada Badan Sekretariat yang bertugas mengkoordinasi pertukaran informasi lintas negara. Ketentuan internal di bidang perpajakan yang mengatur tentang tata cara implementasi persetujuan pertukaran informasi adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-125/PMK/010/2015 (PMK-125/2015) yang didasarkan pada Pasal 32A UU PPh terkait perjanjian pajak yang dibuat oleh Pemerintah.

2.4.Mekanisme Pertukaran Informasi Secara Otomatis (AEoI) berdasarkan  FATCA-IGA Model 1 dan MCAA
Terdapat dua Model IGA untuk mengimplementasikan FATCA, yaitu Model 1 dan Model 2. Pada IGA Model 1, informasi yang akan dipertukarkan dikumpulkan oleh otoritas yang berkompeten dari lembaga keuangan untuk kemudian ditransfer ke otoritas Amerika Serikat. Sementara dalam IGA Model 2, informasi dikumpulkan dan ditransfer oleh lembaga keuangan langsung ke otoritas Amerika Serikat. Sedangkan, mekanisme pertukaran informasi berdasarkan MCAA sama dengan mekanisme pertukaran informasi dalam IGA Model 1. Gambar 1 dan 2 berikut ini mengilustrasikan perbandingan mekanisme dan proses pertukaran informasi berdasarkan FATCA-IGA Model 1 dan Model 2 serta MCAA.
FATCA dan CRS merupakan standar tata cara pelaporan dan due diligence yang harus diikuti oleh para pihak yang terlibat dalam persetujuan pertukaran informasi. Secara esensial, tidak terdapat perbedaan mendasar antara ruang lingkup jenis informasi yang dipertukarkan dalam FATCA dan MCAA. Demikian juga dengan ruang lingkup entitas yang diwajibkan memberikan informasi terkait FATCA dan MCAA. Perbedaan mendasar diantara kedua perjanjian ini yaitu adanya threshold terkait informasi keuangan yang dipertukarkan dan sanksi withholding tax bagi lembaga keuangan atau wajib pajak yang tidak mematuhi FATCA.
Oleh karena mekanisme pelaporan dalam FATCA dan CRS adalah sama dan untuk menjaga konsistensi dan kepastian serta efisiensi dalam mematuhi penerapan standar pertukaran informasi, maka pengaturan tata cara pelaksanaan pertukaran informasi berdasarkan FATCA dan CRS dapat dipersamakan. Kesamaan peraturan ini juga termasuk dalam hal pengenaan sanksi bagi lembaga keuangan atau wajib pajak yang tidak mematuhi standar pertukaran informasi. Kesamaan lainnya terkait dengan pihak yang berkewajiban mentransfer informasi kepada otoritas pajak negara mitra sesuai ketentuan tentang pejabat yang berwenang melakukan pertukaran informasi dengan otoritas pajak negara mitra.

Gambar 1- Mekanisme Pelaksanaan IGA dan MCAA
AEOI/IGA Model 1




     Informasi

CA Partner
LK Partner
DJP
LK Indonesia
IGA Model 2

                          Informasi

                Information
               group request
IRS
DJP
LJK Indonesia
 














Sumber: Maryte Somare dan Viktoria Wohrer, ”Two Different FATCA Model Intergovernmental Agreements: Which is Preferable?”, Bulletin for International Taxation, (Agustus 2014): 399

Untuk menerapkan standar pertukaran informasi secara otomatis ke dalam ketentuan domestik, terdapat empat langkah dasar yang perlu dilakukan Pemerintah, yaitu :
1.      Mengadopsi persyaratan pelaporan dan due diligence dalam FATCA-IGA dan MCAA-CRS ke dalam ketentuan domestik. Agar lembaga keuangan dapat melaksanakan persyaratan pelaporan dan due diligence secara efektif, maka dibutuhkan peraturan yang konsisten dengan yang diatur di dalam perjanjian. Untuk mencegah ketidakseragaman, format pelaporan dan prosedur due diligence sebaiknya mengacu ke format dan prosedur dalam standar pertukaran informasi secara otomatis.
2.      Menentukan dasar hukum dalam melaksanakan mekanisme pertukaran informasi secara otomatis. Peraturan domestik yang mengatur proses pertukaran informasi secara otomatis berdasarkan FATCA-IGA dan MCAA-CRS sebaiknya diselaraskan untuk memastikan LJK menjalankan kewajibannya secara efektif dan efisien sesuai FATCA-IGA dan MCAA-CRS. Petunjuk pelaksanaan implementasi FATCA-IGA dan MCAA-CRS secara detail dapat diatur melalui secondary legislation. Lebih lanjut, Commentaries MCAA-CRS sebaiknya dipertimbangkan dalam penyusunan peraturan dan pelaksanaan pertukaran informasi secara otomatis.
3.      Menyediakan infrastruktur teknologi informasi dan administrasi untuk mengumpulkan informasi dan mempertukarkan informasi tersebut sesuai FATCA-IGA dan MCAA-CRS. Insfrastruktur ini diperlukan untuk mendukung kinerja transmisi data dan standar enkripsi serta dekripsi utuk menjamin keamanan pertukaran informasi.
4.      Melindungi kerahasiaan dan perlindungan data (data safeguards). Standar pertukaran informasi secara otomatis memuat detail aturan tentang kerahasiaan dan perlindungan data dan juga setiap negara dapat mengidentifikasi dan melaporkan hasil identifikasi atas ciritical area dalam hal kerahasiaan dan perlindungan data.

Gambar 2- Proses Pertukaran Informasi Secara Otomatis dalamFATCA-IGA Model 1 dan MCAA

2. Format data sesuai dengan CRS
dan melaporkan ke
otoritas pajak (bisa
berdasarkan
masing-masing
negara)
4. Menerima data dari
Negara B; melakukan
dekripsi data, quality
control, menyimpan data, dan kerahasiaan dan perlindungan data
5. Mengimpor data dari
lembaga keuangan dan Negara B untuk kemudian
dibandingkan dengan database dan lakukan tindakan yang diperlukan
3. Menerima data dari
lembaga keuangan,
melakukan quality
control, mengirimkan
dan menyimpan copy
data
1. Mengumpulkan
data keuangan
nasabah
Lembaga Keuangan
Otoritas Pajak Negara B

Otoritas Pajak Negara A
 





















Sumber: Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose, “Automatic Exchange of Information a Roadmap for Developing Countries”, (2014).

3.      PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a.    AEoI dengan kerangka kerja FATCA-IGA Model 1B dan MCAA-CRS merupakan perjanjian pertukaran informasi secara otomatis yang didasarkan pada P3B dan Konvensi dan bertujuan untuk meningkatkan international tax compliance.
b.    Implementasi AEoI melalui kerangka kerja berdasarkan FATCA Model 1 Inter Governmental Agreements (Model 1 IGA), dalam dokumen yang berjudul "Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters ", termasuk didalamnya yaitu :
(1) Model CAA (Competent Authority Agreement) yang mendefinisikan prinsip dari perjanjian antar pemerintah AEOI,
(2) The Common Reporting & due diligence Standard (CRS) yang mendefinisikan kewajiban pelaporan atas due diligence.
c.    AEoI bersifat self-executing treaty atau dapat langsung berlaku tanpa memerlukan ratifikasi.
d.    AEoI mensyaratkan perlunya kelengkapan peraturan domestik untuk mengimplementasikan standar pertukaran informasi secara otomatis di bidang perpajakan.
e.    PMK-125/2015 sebagai ketentuan internal prosedural dalam mengimplementasikan perjanjian pertukaran informasi secara otomatis sebagaimana yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia dalam IGA Model 1B dan MCAA.
f.     Ketentuan internal prosedural lainnya yang diterbitkan oleh otoritas terkait yang berwenang dalam pelaksanaan pertukaran informasi secara otomatis hendaknya selaras dengan PMK-125/2015.


















DAFTAR PUSTAKA

OECD Center for Tax Policy and Administration. 2013. Automatic Exchange of Information: The Next Step (Information Brief). (online), (http://www.oecd.org/Automatic-Exchange-of-Information.pdf, diunduh 25 April 2016).
OECD Center for Tax Policy and Administration. 2016. Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose : Automatic Exchange of Information. (online), (http://www.oecd.org/tax/transparency/automatic-exchange-of-information.pdf, diunduh 25 April 2016).
OECD Center for Tax Policy and Administration. 2016. Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose : AEOI Status of Commitments. (online), (http://www.oecd.org/tax/transparency/AEOI-commitments.pdf, diunduh 25 April 2016).
OECD Center for Tax Policy and Administration. 2015. Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information. (online), (http://www.oecd.org/ctp/standard-for-automatic-exchange-of-financial-account-information.pdf, diunduh 25 April 2016).
HMRC. 2015. Implementing Agreements under the Global Standard on Automatic Exchange of Information to Improve International Tax Compliance. (online), (https://www.gov.uk/government/consultations/implementingagreementsunderthe globalstandardonautomaticexchangeofinformation, diunduh 25 April 2016).
BNP Paribas. 2015. Automatic Exchange of Information
(AEOI)
, (online), (
http://www.securities.bnpparibas.com/BP2S-AEOI-Reg-memo-(FINAL SCREEN).pdf, diunduh 25 April 2016).
KPMG Internasional. 2014. Automatic Exchange of Information-The Common Reporting Standard. (online), (http://www.kpmg.com/the-common-reporting-standard.pdf, diunduh 25 April 2016).
Pribadi, Gunawan dan Putu Oka Kusumawardani, Pande. 2013. Penerapan FATCA di Indonesia, (online), (http://www.kemenkeu.go.id/2013/2013-kajian-pkpn-FATCA-publikasi.pdf , diunduh 25 April 2016).
Prastowo, Yustinus. 2016. Perpajakan Tahun 2016. (online), (http://www.ikipbandung.com/perpajakan-tahun-2016-file.pdf, diunduh 25 April 2016).

Sholikah, Binti. 2015. OJK Buat Juklak Pertukaran Data. (online), (http://www.perpustakaan.bappenas.go.id/155838-[_Konten_]-OJK-Rep0001.pdf, diunduh 25 April 2016).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar